Konsep Islam tentang Guru
Dalam konsep islam, guru senantiasa diidentikkan dengan
seorang 'alim (ulama'). Kedudukan seorang guru adalah kedudukan seorang ulama'
dalam arti sesungguhnya, termasuk kedudukan sebagai pewaris para Nabi.
Konsep Visi ini demikian jelas di masa silam, yang
melahirkan penghargaan dan prestise sangat tinggi di mata umat. Seorang 'alim,
di masa lalu, adalah bagian dari matarantai tak terputus yang menyambungkan
umat dengan Nabinya, dan itu berarti pula satu-satunya sanad yang terpercaya
untuk mengenal Allah dalam kehidupan ini. Tentu saja, selain memiliki bekal
otoritas ilmiah, maka secara moral mereka adalah orang-orang yang kredibel dan
patut diteladani.
Dengan demikian, adalah layak jika menjadi seorang 'alim
merupakan cita-cita tertinggi para pemuda muslim. Kehidupan yang berkiblat
kepada para 'alim pun merupakan cerminan masyarakat ideal, sebagaimana zaman
para sahabat yang berkiblat kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi
wasallam. Sebab, mereka adalah pewaris para Nabi, sementara di dunia ini tidak
ada manusia yang lebih mulia dibanding mereka. Cita-cita spiritual yang luhur
inilah yang menyemangati ribuan pencari hadits dan penuntut ilmu untuk
mengembara ke berbagai pelosok wilayah kekhilafahan dan menemui para guru
terbaik yang ada di setiap kota. Dengan sendirinya, kehidupan modern kita yang
berkiblat kepada para politikus, pemilik modal dan selebritis adalah
praktik-praktik yang samasekali tidak Islami. Di masa lalu, ketika kesadaran
spiritual umat masih terawat dengan cukup baik, kelompok terakhir ini cenderung
dipandang rendah dan hanya akan dihargai jika terdapat kualitas ulama' dalam
diri mereka, seperti para Khulafa' Rasyidun. Lain itu tidak.
Dengan kata lain, pilihan terhadap ikon kehidupan tersebut
mencerminkan filosofi yang mendominasi pemikiran umat pada suatu zaman. Ketika
mereka berkiblat dengan sukarela kepada para pewaris Nabi, wahyu dan ilmu, maka
visi mereka jelas terfokus ke akhirat. Apapun yang mereka perbuat selalu diukur
dengan visi ukhrawi ini, yakni apakah semua itu akan mendatangkan keridhaan
Allah atau justru memancing kemurkaan-Nya? Ketika ikon mereka berubah, dimana
umat berkiblat kepada politikus, pemilik modal dan selebritis seperti di zaman
kita sekarang, sesungguhnya dengan jelas telah terlihat kemana mereka menuju.
Umat seperti ini adalah pengagum dunia dan biasanya bersedia untuk mengorbankan
serta memperalat apa saja demi dunia, tidak terkecuali wahyu dan ilmu.
Tradisi yang sampai kepada kita menceritakan bagaimana – di
suatu masa –kedudukan seorang 'alim begitu dihargai. Khazanah klasik kita
merekam berbagai ungkapan dan kisah nyata yang sangat mengharukan seputar
masalah ini. Dan, tentu saja untuk mampu meraih maqam spiritual yang sangat
terhormat itu tidak bisa main-main. Seorang guru dan pelajar harus menerapkan
serangkaian adab yang ditujukan untuk memastikan bahwa perjalanan mereka tidak
melenceng sejak awal sampai akhir. Termasuk dalam hal ini adalah memahami
masalah hierarki ilmu, sumber maupun otoritas yang membawakannya. Tidak
mengherankan jika cukup banyak kitab yang ditulis seputar masalah ini. Sebab,
bila kenabian (nubuwwah) dan wahyu adalah anugrah ilahiyah yang ditentukan
pemberiannya oleh Allah bagi mereka yang layak menyandangnya, demikian pula
martabat pewaris para Nabi (waratsatu al-anbiya') dan cahaya ilmu hanya akan
dikaruniakan bagi mereka yang layak untuk itu. Kitab-kitab adab menjelaskan
dengan rinci ciri-ciri kalangan ini, beserta adab-adab yang mesti dijaga agar
seorag guru dan murid bisa termasuk golongan mereka.
Sayangnya, kini visi semacam itu semakin memudar dan diganti
dengan atribut seorang guru dalam budaya sekuler-materialis yang menempatkannya
tidak lebih sebagai tenaga kerja terdidik. Atribut ini, yang sebenarnya
mencerminkan pandangan yang lebih gawat tentang hakikat guru dan fungsi mereka
dalam kehidupan, cenderung simplistik dan melecehkan guru sekedar sebagai
sebuah profesi, mungkin tidak ada bedanya dengan sopir atau tukang sapu, bukan
sebagai panggilan hidup. Pandangan ini tentu saja berimplikasi pada proses
penyiapan tenaga guru itu sendiri yang serampangan dan terkesan tidak seserius
penyiapan tenaga dokter, misalnya. Padahal, dokter adalah tenaga yang
difungsikan untuk memenuhi sektor fardhu kifayah, sementara para guru adalah tenaga
di lapangan fardhu 'ain, yakni dalam upaya memperkenalkan umat kepada Allah dan
merawat moralitas maupun spirit mereka dari tipuan duniawi.
Dapat dicatat pula bahwa di masa silam, menjadi seorang
'alim adalah bagian dari cita-cita religius, yang dengannya seseorang menempuh
jalan pengabdian ('ubudiyah) kepada Allah, dan darinya diharapkan ridha serta
rahmat-Nya. Karenanya pula, tidak layak adanya harapan material dengan pilihan
ini, sebagaimana umumnya setiap ibadah yang tidak boleh diminta upah duniawi
daripadanya. Hanya Allah yang akan membalas seluruh kesungguhan dan kerja keras
tersebut. Dan, tentu saja, kewajiban untuk menerapkan adab menjadi sangat
penting, dimana kitab yang terjemahannya Anda baca sekarang ditulis dalam
rangka itu. Sebab dalam pandangan Islam, tidak ada ilmu yang bisa ditanamkan
jika adab-adab telah diabaikan. Adab, dalam konteks ini, bukan hanya mencakup
etika profesional yang sempit, namun lebih jauh menyangkut disiplin spiritual
yang dengannya seseorang mengenal tempat dan posisi setiap perkara, lalu
memilih sikap dan tindakan yang paling tepat terhadapnya. Dengan kata lain,
pendidikan adalah serangkaian proses untuk mengenal dan melatih diri dalam
disiplin spiritual semacam ini.
Semangat itulah yang mengalir kuat dalam kitab ini, yang
menggemakan nilai-nilai Islam dalam menempatkan guru berikut peran dan
fungsinya di tengah-tengah umat, juga membimbing para pelajar untuk bersikap
semestinya kepada para guru, ilmu, diri mereka sendiri, teman sesama pelajar
maupun buku sebagai salah satu sarana belajar. Kami mengajak pembaca untuk
kembali mengenali hal itu, di tengah-tengah gelombang materialisme-sekulerisme
yang kian tak terbendung. Mungkin, sebagian dari isi kitab ini terasa asing dan
berlebihan bagi para guru dan pembaca modern. Namun, hal itu bukan karena ia
mengada-ada, namun dikarenakan kultur kita sendiri – sebagai umat Islam – yang
sudah terlalu jauh dari warna aslinya. Sebagian saran maupun alasan yang
mendasari suatu penerapan adab kadang juga tidak valid lagi menurut penilaian
mutakhir, sebagaimana akan Anda saksikan nanti. Namun, pesan aslinya tetap
benar, tinggal kejelian kita untuk memahami bentuk penerapannya yang paling
tepat di zaman sekarang.
Dalam kacamata tradisional, ilmu tentang adab guru dan murid
adalah bagian dari kurikulum utama (core-curriculum) pendidikan. Artinya, adab
adalah pelajaran pertama yang pasti diberikan jauh sebelum seluruh proses
pendidikan itu sendiri berlangsung. Secara sederhana dapat diringkas bahwa arah
utama pendidikan adab adalah mempelajari bagaimana caranya belajar (learning
how to learn). Ada banyak kitab yang dikarang untuk tujuan ini, seperti Ta'limu
al-Muta'allim karya az-Zarnuji, Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali, Adabu
al-Imla' wal Istimla' karya as-Sam'ani, dan al-Jami' li Akhlaqi ar-Raawi wa
Adabi as-Saami' karya al-Khathib al-Baghdadi. Khusus untuk kitab terakhir ini
isinya banyak dirujuk dalam buku yang kita terjemahkan.
Pada saat bersamaan, baik guru maupun murid sepenuhnya sadar
bahwa keberhasilan maupun kegagalan pendidikan sangat tergantung pada tahap
ini. Dengan kata lain, banyak lembaga pendidikan maupun pelajar yang gagal
merealisasikan visi-misinya serta memperoleh manfaat pendidikan dikarenakan
gagal melampaui proses pertama ini.
Dalam kurikulum pendidikan Islam tradisional, dimana
muatannya secara umum dibagi menjadi ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah, maka
mengenal adab adalah bagian dari ilmu fardhu 'ain yang bersifat dinamis dan
berkembang selaras dengan tuntutan situasi. Tepatnya, karena kita adalah guru dan
juga para murid, maka sudah selayaknya untuk mengetahui bagaimana bimbingan
yang benar dalam menjalani 'profesi' dan status tersebut. Ciri dinamis dari
ilmu fardhu 'ain ini senantiasa terkait dengan apa yang disebut al-haal dan
al-maqaam, yakni kondisi riil dan tingkat-tingkat spiritual yang dilalui
seseorang sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah bagian dari
perjalanan pematangan spiritualitas manusia dalam menjalani fungsi dan perannya
di muka bumi.
Kitab Terjemah
"Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana
Alamul Hajar al-Yamani
adabuna.blogspot.com
adabuna.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar