Senin, 09 Februari 2015

Konsep Islam Yang Kini Kembali Asing : Konsep Guru


Konsep Islam tentang Guru
Dalam konsep islam, guru senantiasa diidentikkan dengan seorang 'alim (ulama'). Kedudukan seorang guru adalah kedudukan seorang ulama' dalam arti sesungguhnya, termasuk kedudukan sebagai pewaris para Nabi.

Konsep Visi ini demikian jelas di masa silam, yang melahirkan penghargaan dan prestise sangat tinggi di mata umat. Seorang 'alim, di masa lalu, adalah bagian dari matarantai tak terputus yang menyambungkan umat dengan Nabinya, dan itu berarti pula satu-satunya sanad yang terpercaya untuk mengenal Allah dalam kehidupan ini. Tentu saja, selain memiliki bekal otoritas ilmiah, maka secara moral mereka adalah orang-orang yang kredibel dan patut diteladani.

Dengan demikian, adalah layak jika menjadi seorang 'alim merupakan cita-cita tertinggi para pemuda muslim. Kehidupan yang berkiblat kepada para 'alim pun merupakan cerminan masyarakat ideal, sebagaimana zaman para sahabat yang berkiblat kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Sebab, mereka adalah pewaris para Nabi, sementara di dunia ini tidak ada manusia yang lebih mulia dibanding mereka. Cita-cita spiritual yang luhur inilah yang menyemangati ribuan pencari hadits dan penuntut ilmu untuk mengembara ke berbagai pelosok wilayah kekhilafahan dan menemui para guru terbaik yang ada di setiap kota. Dengan sendirinya, kehidupan modern kita yang berkiblat kepada para politikus, pemilik modal dan selebritis adalah praktik-praktik yang samasekali tidak Islami. Di masa lalu, ketika kesadaran spiritual umat masih terawat dengan cukup baik, kelompok terakhir ini cenderung dipandang rendah dan hanya akan dihargai jika terdapat kualitas ulama' dalam diri mereka, seperti para Khulafa' Rasyidun. Lain itu tidak.
Dengan kata lain, pilihan terhadap ikon kehidupan tersebut mencerminkan filosofi yang mendominasi pemikiran umat pada suatu zaman. Ketika mereka berkiblat dengan sukarela kepada para pewaris Nabi, wahyu dan ilmu, maka visi mereka jelas terfokus ke akhirat. Apapun yang mereka perbuat selalu diukur dengan visi ukhrawi ini, yakni apakah semua itu akan mendatangkan keridhaan Allah atau justru memancing kemurkaan-Nya? Ketika ikon mereka berubah, dimana umat berkiblat kepada politikus, pemilik modal dan selebritis seperti di zaman kita sekarang, sesungguhnya dengan jelas telah terlihat kemana mereka menuju. Umat seperti ini adalah pengagum dunia dan biasanya bersedia untuk mengorbankan serta memperalat apa saja demi dunia, tidak terkecuali wahyu dan ilmu.
Tradisi yang sampai kepada kita menceritakan bagaimana – di suatu masa –kedudukan seorang 'alim begitu dihargai. Khazanah klasik kita merekam berbagai ungkapan dan kisah nyata yang sangat mengharukan seputar masalah ini. Dan, tentu saja untuk mampu meraih maqam spiritual yang sangat terhormat itu tidak bisa main-main. Seorang guru dan pelajar harus menerapkan serangkaian adab yang ditujukan untuk memastikan bahwa perjalanan mereka tidak melenceng sejak awal sampai akhir. Termasuk dalam hal ini adalah memahami masalah hierarki ilmu, sumber maupun otoritas yang membawakannya. Tidak mengherankan jika cukup banyak kitab yang ditulis seputar masalah ini. Sebab, bila kenabian (nubuwwah) dan wahyu adalah anugrah ilahiyah yang ditentukan pemberiannya oleh Allah bagi mereka yang layak menyandangnya, demikian pula martabat pewaris para Nabi (waratsatu al-anbiya') dan cahaya ilmu hanya akan dikaruniakan bagi mereka yang layak untuk itu. Kitab-kitab adab menjelaskan dengan rinci ciri-ciri kalangan ini, beserta adab-adab yang mesti dijaga agar seorag guru dan murid bisa termasuk golongan mereka.
Sayangnya, kini visi semacam itu semakin memudar dan diganti dengan atribut seorang guru dalam budaya sekuler-materialis yang menempatkannya tidak lebih sebagai tenaga kerja terdidik. Atribut ini, yang sebenarnya mencerminkan pandangan yang lebih gawat tentang hakikat guru dan fungsi mereka dalam kehidupan, cenderung simplistik dan melecehkan guru sekedar sebagai sebuah profesi, mungkin tidak ada bedanya dengan sopir atau tukang sapu, bukan sebagai panggilan hidup. Pandangan ini tentu saja berimplikasi pada proses penyiapan tenaga guru itu sendiri yang serampangan dan terkesan tidak seserius penyiapan tenaga dokter, misalnya. Padahal, dokter adalah tenaga yang difungsikan untuk memenuhi sektor fardhu kifayah, sementara para guru adalah tenaga di lapangan fardhu 'ain, yakni dalam upaya memperkenalkan umat kepada Allah dan merawat moralitas maupun spirit mereka dari tipuan duniawi.
Dapat dicatat pula bahwa di masa silam, menjadi seorang 'alim adalah bagian dari cita-cita religius, yang dengannya seseorang menempuh jalan pengabdian ('ubudiyah) kepada Allah, dan darinya diharapkan ridha serta rahmat-Nya. Karenanya pula, tidak layak adanya harapan material dengan pilihan ini, sebagaimana umumnya setiap ibadah yang tidak boleh diminta upah duniawi daripadanya. Hanya Allah yang akan membalas seluruh kesungguhan dan kerja keras tersebut. Dan, tentu saja, kewajiban untuk menerapkan adab menjadi sangat penting, dimana kitab yang terjemahannya Anda baca sekarang ditulis dalam rangka itu. Sebab dalam pandangan Islam, tidak ada ilmu yang bisa ditanamkan jika adab-adab telah diabaikan. Adab, dalam konteks ini, bukan hanya mencakup etika profesional yang sempit, namun lebih jauh menyangkut disiplin spiritual yang dengannya seseorang mengenal tempat dan posisi setiap perkara, lalu memilih sikap dan tindakan yang paling tepat terhadapnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah serangkaian proses untuk mengenal dan melatih diri dalam disiplin spiritual semacam ini.
Semangat itulah yang mengalir kuat dalam kitab ini, yang menggemakan nilai-nilai Islam dalam menempatkan guru berikut peran dan fungsinya di tengah-tengah umat, juga membimbing para pelajar untuk bersikap semestinya kepada para guru, ilmu, diri mereka sendiri, teman sesama pelajar maupun buku sebagai salah satu sarana belajar. Kami mengajak pembaca untuk kembali mengenali hal itu, di tengah-tengah gelombang materialisme-sekulerisme yang kian tak terbendung. Mungkin, sebagian dari isi kitab ini terasa asing dan berlebihan bagi para guru dan pembaca modern. Namun, hal itu bukan karena ia mengada-ada, namun dikarenakan kultur kita sendiri – sebagai umat Islam – yang sudah terlalu jauh dari warna aslinya. Sebagian saran maupun alasan yang mendasari suatu penerapan adab kadang juga tidak valid lagi menurut penilaian mutakhir, sebagaimana akan Anda saksikan nanti. Namun, pesan aslinya tetap benar, tinggal kejelian kita untuk memahami bentuk penerapannya yang paling tepat di zaman sekarang.
Dalam kacamata tradisional, ilmu tentang adab guru dan murid adalah bagian dari kurikulum utama (core-curriculum) pendidikan. Artinya, adab adalah pelajaran pertama yang pasti diberikan jauh sebelum seluruh proses pendidikan itu sendiri berlangsung. Secara sederhana dapat diringkas bahwa arah utama pendidikan adab adalah mempelajari bagaimana caranya belajar (learning how to learn). Ada banyak kitab yang dikarang untuk tujuan ini, seperti Ta'limu al-Muta'allim karya az-Zarnuji, Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali, Adabu al-Imla' wal Istimla' karya as-Sam'ani, dan al-Jami' li Akhlaqi ar-Raawi wa Adabi as-Saami' karya al-Khathib al-Baghdadi. Khusus untuk kitab terakhir ini isinya banyak dirujuk dalam buku yang kita terjemahkan.
Pada saat bersamaan, baik guru maupun murid sepenuhnya sadar bahwa keberhasilan maupun kegagalan pendidikan sangat tergantung pada tahap ini. Dengan kata lain, banyak lembaga pendidikan maupun pelajar yang gagal merealisasikan visi-misinya serta memperoleh manfaat pendidikan dikarenakan gagal melampaui proses pertama ini.
Dalam kurikulum pendidikan Islam tradisional, dimana muatannya secara umum dibagi menjadi ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah, maka mengenal adab adalah bagian dari ilmu fardhu 'ain yang bersifat dinamis dan berkembang selaras dengan tuntutan situasi. Tepatnya, karena kita adalah guru dan juga para murid, maka sudah selayaknya untuk mengetahui bagaimana bimbingan yang benar dalam menjalani 'profesi' dan status tersebut. Ciri dinamis dari ilmu fardhu 'ain ini senantiasa terkait dengan apa yang disebut al-haal dan al-maqaam, yakni kondisi riil dan tingkat-tingkat spiritual yang dilalui seseorang sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah bagian dari perjalanan pematangan spiritualitas manusia dalam menjalani fungsi dan perannya di muka bumi.

Kitab Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana Alamul Hajar al-Yamani
adabuna.blogspot.com

Tidak ada komentar: